Home » , , » Kisah Uwais bin Amir al-Qarni رضي الله عنه

Kisah Uwais bin Amir al-Qarni رضي الله عنه

Written By fulan bin fulan on Jumat, 19 Oktober 2012 | 06.14

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa
Sallam sedang duduk diantara para
sahabatnya; antara lain Abu Hurairah, Umar,
Ali dan lainnya. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik generasi tabi’in
adalah orang yang bernama Uwais. Dia
mempunyai seorang ibu dan mempunyai belang putih ditubuhnya. Lalu dia berdoa
hingga Allah menghilangkan belang itu kecuali hanya tersisa sebentuk dirham.”(HR.
Muslim dalam shahihnya No. 2542, Imam Ahmad dalam Musnadnya, I/38)

Beliau adalah Uwais al-Qarni adalah teladan bagi orang yang zuhud. Ia adalah salah
seorang dari delapan orang zuhud yang menghindarkan diri dari dunia, sehingga
Allah menjaga mereka dan memberikan kasih sayang dan keridhaanNya. Uwais al-
Qarni adalah tokoh dari generasi tabi’in dizamannya. Demikian dituturkan Imam
adz-Dzahabi. Ia juga dikenal sebagai junjungan dari orang-orang yang dikatakan
oleh Allah dalam firmanNya:

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُھَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوھُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْھُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ
وَأَعَدَّ لَھُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَھَا الأَنْھَارُ خَالِدِينَ فِیھَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِیمُ

Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama- lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. “(QS.
At-Taubah:100)


Dia adalah Abu Amr bin Amir bin Juz’I bin Malik al-Qarni al-Muradi al-Yamani. Qarn
adalah salah satu suku dari kabilah Arab bernama Murad. Beliau juga termasuk satu
dari wali Allah yang bertakwa.
Ia dilahirkan saat terjadi peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam ke
Madinah. Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam pernah membicarakan tentang
dirinya. Ia mempunyai seorang ibu yang sangat ia hormati.
Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam melanjutkan penjelasannya tentang sifat Uwais al-Qarni. Beliau bersabda,

”Wahai Abu Hurairah!Sesungguhnya Allah mencintai dari makhluk-makhlukNya yang bersih hatinya, tersembunyi, yang baik-baik,rambutnya acak-acakan, wajahnya berdebu, yang kosong perutnya kecuali dari hasil pekerjaan yang halal, prang-orang yang apabila meminta izin kepada para penguasa maka tidak diizinkan, jika melamar wanita-wanita yang menawan maka mereka tidak mau menikah. Jika tidak, ada mereka tidak dicari. Ketika hadir,mereka tidak diundang. Jika muncul, kemunculannya tidak disikapi dengan kegembiraan. Apabila sakit, mereka tidak dijenguk. Dan jika mati, tidak dihadiri prosesi pemakamannya.”

Para sahabat bertanya,”Bagaimana kita dapat menjadi bagian dari mereka?”
Rasul menjawab,”Orang itu adalah Uwais al-Qarni.” Para sahabat bertanya,”apa ciri-ciri orang yang bernama Uwais al-Qarni?” Rasul menjawab,”Seorang yang warna bola matanya bercampur, mempunyai warna
kekuning-kuningan, berbahu lebar, berbadan tegap, warna kulitnya terang,
dagunya sejajar dengan dadanya, menundukan dagunya ketempat sujudnya,
meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya, membaca al-Qur’an lalu
menangis, mengenakan sarung dari wol, pakaian atasnya dari wol, tidak dikenal penghuni bumi, terkenal dikalangan penghuni langit, apabila bersumpah atas nama Allah maka ia pasti memenuhi sumpahnya. Sungguh dibawah bahu kirinya ada cahaya berwarna putih.

 Sungguh, ketika hari kiamat diperintahkan kepada para hamba,”Masuklah kalian ke dalam surga.” Dan dikatakan kepada Uwais,”Berhentilah!Berilah syafaat!’lalu Allah memberikan hak syafaat kepadanya untuk menolong sejumlah orang dari suku Rabi’ah dan Mudhar (dua kabilah bangsa Arab). Wahai Umar, wahai Ali! Apabila kalian berdua bertemu dengannya maka
mintalah kepadanya agar kiranya ia memintakan ampunan untuk kalian, maka Allah akan mengampuni kalian berdua.” Ini adalah awal dari sejarah perjalanan hidup Uwais. Bagaimana gerangan dengan kabar gembira yang diberikan Allah kepadanya.

Belasan tahun pun berlalu...
Jika didatangi delegasi dari penduduk Yaman, Umar bin Khaththab selalu bertanya kepada mereka,”Apakah diantara kalian ada yang bernama Uwais al-Qarni?”Dalam memorinya, ia selalu teringat cerita Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam tentang sosol Uwais. Karena itu, Umar secara khusus menanyakan nama dan sosok pribadinya. Marilah kita simak cerita Umar :

Suatu hari, datang rombongan dari Yaman. Seperti biasa Umar berdiri dan selalu menanyakan,”Apakah diantara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir?Mereka menjawab,”Ya” Lalu Umar berjalan menghampiri Uwais dan bertanya,”Engkau Uwais bin Amir?” Orang itu menjawab,”Ya” Umar berkata,”Drai suku Murad dan Qarn?” Dia menjawab,”Ya” Umar bertanya,”Apakah engkau dahulu mempunyai penyakit belang (kusta), lalu
Allah menyembuhkanmu dari penyakit itu kecuali sebentuk dirham yang tersisa?” Uwais menjawab,”Ya” Umar bertanya lagi,”Apakah engkau mempunyai seorang ibu?” Dia menjawab,”Ya” Umar bin Khaththab mengatakan,

”Saya mendengar Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam bersabda,’Akan datang pada kalian Uwais bin Amir, dari penduduk Yaman,dari Murad dan Qarn. Dahulu ia mempunyai penyakit kusta lalu sembuh, kecuali
sebentuk dirham yang masih tersisa. Ia mempunyai seorang ibu. Ia sangat
menghormatinya. Seandainya ia bersumpah, ia pasti akan memenuhinya. Jika
engkau bisa, kiranya dia memintakan ampunan untukmu, maka lakukanlah.’Maka mintakanlah ampunan untukku, wahai Uwais!
Lalu Uwais memintakan ampunan untuk Umar bin Khaththab. Kemudian Umar
berkata kepadanya,”Kemanakah engkau hendak pergi?”
Uwais menjawab,”Saya ingin pergi ke Kuffah.” Umar mengatakan,”Tidakkah sebaiknya aku menulis surat untukmu bawa kepada
penguasanya?”
Uwais menjawab,”Saya berada ditengah-tengah kebanyakan orang, itu lebih saya
cintai.”
Maksudnya, ia lebih menyukai tinggal bersama-sama dengan rakyat biasa, dan
bukan tokoh-tokoh masyarakat. Ia menghindarkan diri dari dunia dan tidak
menginginkan sesuatu apapun dari pemilik harta dan kekuasaan.
Umar bertanya lagi kepada Uwais,”Siapa yang engkau tinggalkan di Yaman?”
Ia menjawab,”Saya meninggalkan Ibuku.” 

Kemudian Umar meminta dengan sangat sekali lagi kepada Uwais agar sudi
memintakan ampunan kepada Allah untuknya. Umar berkata,”Mintakanlah ampunan
untukku, wahai Uwais!”
Uwais balik bertanya,”Apakah orang sepertiku memintakan ampunan untuk orang
sepertimu, wahai Amiruk Mukminin?”
Umar mengulang-ngulang Permintaannya. Uwais pun memintakan ampunan untuknya
dan mendoakannya, “Ya Allah, ampunilah Umar bin Khaththab.”
Umar berkata kepada Uwais,”sejak hari ini, engkau adalah saudaraku dan
janganlah engkau berpisah dariku!”
Sejak saat itu, Uwais berusaha lepas dari jaminan kehidupan dari Umar. Ia
bermaksud menuju Kuffah untuk mencari rezeki, mendekatkan diri dengan para
ulama dan orang-orang yang zuhud di bumi Irak. Di sana ia menemui berbagai
kesulitan yang tidak tergambarkan. Karena sikap zuhudnya dari dunia, di Kuffah
ada orang yang mencaci makinya hingga menyakiti hatinya dan mengejeknya
dengan ejekan yang menjadikannnya tidak sanggup bertemu orang lain.
Tapi Allah menghendaki kebaikan pada hambaNya ini dimanapun ia berada. Dia menjadikan orang membelanya dari gangguan. Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat, sebagaimana Dia sepanjang waktu Maha mengetahui keadaan hambahambaNya yang shalih. Saat lepas dari Umar bin Khaththab dan pergi menuju ke Kuffah, Umar berkata,”Semoga Allah memberikan kasih sayang kepadamu. Tempatmu disini hingga saya masuk ke Makkah dan membawakan untukmu nafkah dari pemberianku dan keutamaan pakaian dari pakaianku,” Kemudian Umar meyakinkannya dengan mengatakan,”Tunggulah disini wahai Uwais!Ini adalah tempat perjanjian antara diriku dengan dirimu.”
Uwais menjawab,”Wahai Amirul Mukminin!Tak ada tempat perjanjian antara diriku
dengan dirimu. Saya tak melihatmu setelah hari ini engkau akan mengetahuiku.
Wahai Amirul Mukminin! Apa gerangan yang saya lakukan dengan nafkah itu?Apa
gerangan yang saya perbuat dengan pakaian itu?Tidakkah engkau lihat saya
mengenakan sarung wol, pakaian atasan dari wol. Kapankah engkau melihatku
merobek-robeknya. Tidakkah engkau melihat kedua terompahku yang dekil?
kapankah saya merusaknya?Tidakkah engkau melihatku telah mengambil upah hasil
gembala kambing sebanyak 4 dirham?Kapan engkau melihatku membelanjakannya?
Wahai Amirul Mukminin!Sesungguhnya dihadapanku dan dihadapanmu ada pintu
sempit yang sulit dimasuki kecuali rasa yang ringan dan lemah. Maka ringankanlah.
Semoga Allah memberikan kasih sayangNya kepadamu.”
Demikianlah gambaran sikap zuhudnya. Mendengar penuturan Uwais, Umar bin
Khaththab melemparkan apa yang ada ditangannya ke tanah, seraya
berteriak,”Andaikan ibu Umar tidak melahirkan Umar. Andaikan dia mandul dan
tidak merawat kandungannya. Ingatlah olehmu, siapa yang mengambil dunia dengan
isinya?”
Uwais menenangkan kegundahan Umar dan mengatakan,”Wahai Amirul
Mukminin!Semoga Allah memberikan kasih sayangNya kepadamu.”
Umar berangkat menuju Makkah mengantar kepergian Uwais. Uwais pun menggiring
untanya, lalu memberikan kepada pemiliknya dan meninggalkan tempat
penggembalaan. Ia berjalan menuju penyembahan kepada Allah sepanjang hidupnya.
Di Kuffah, majelisnya adalah majelis orang-orang yang zuhud. Ia menjadi pemimpin
dan guru orang-orang zuhud. Dalam keyakinannya, akhirat adalah negeri yang
mantap dan negeri kebenaran.
Jika kita hendak melihat Uwais di Kuffah lebih dekat, berikut penuturan salah
seorang temannya dari delapan orang zuhud. Harim bin Hayyan, memberikan
gambaran tentang pribadinya kepada kita.
“Saya datang ke kuffah. Tak ada tujuan bagiku kecuali menanyakan tentang Uwais.
Lalu saya ditunjukkan ke arah sungai Eufrat yang ia gunakan untuk berwudhu dan
mencuci pakaiannya. Saya mengucapkan salam kepadanya dan menjulurkan
tanganku untuk berjabat tangan. Namun ia menolak. Pelajaran berharga itu
memenuhi relung hatiku saat melihat kondisinya.”
Harim tak mengenalnya sebelum menjulurkan tangannya untuk berjabatan tangan
dengannya.”Saya mengenalinya dengan sifat tanda (yang dimaksudkan adalah belang kulit dengan warna kekuning-kuningan). Ternyata ia adalah orang yang
warna kulitnya sangat putih (pucat) dengan rambut kepala yang plontos dan
jenggot sangat tebal, sehingga menjadi penampilan yang menakutkan.”
Ketika ia menolak uluran jabat tangan, Harim kembali berkata, “Salam untukmu
wahai Uwais. Bagaimana kondisimu sekarang, wahai saudaraku?”
Uwais menjawab,”Dan engkau, semoga Allah memberimu kegembiraan, wahai Harim
bin Hayyan. Siapa yang menunjukannmu kepadaku?”
Harim menjawab,”Allah jualah yang menunjukanku kepadamu.”
Uwais menyitir salah satu ayat:
“Dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti
dipenuhi".(QS. al-Isra:108)
Harim berkata,”Semoga Allah merahmatimu. Dari mana engkau mengenal namaku
dan nama ayahku?Sungguh demi Allah, saya tidak pernah melihatmu sebelum hari ini.
Dan engkau juga tidak pernah melihatku”.
Uwais menjawab,”Ruhku mengenal ruhmu saat saya membisikkan kepada dirikku.
Sebab sesungguhnya ruh-ruh itu memiliki jiwa, seperti jiwa pada raga. Bahwa
orang-orang yang beriman saling mengenal satu dengan lainnya dengan pertolongan
ruh dari Allah. Meskipun berjauhan rumah dan tempat yang terpisah.”
Saat itu juga Harim duduk disamping temannya itu dan berharap dapat mendengar
pelajaran darinya. Sebab sebelumnya dia telah mendengar tentang dirinya dan
kezuhudannya. Suasana diam itu berlangsung lama hingga Harim memulai
pembicaraan,”Ceritakanlah padaku wahai saudaraku tentang hadits dari Rasulullah
agar saya menghapalnya darimu.”
Ia menjawab,”Saya tidak mengalami hidup dimasa Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa
Sallam. Saya tidak pernah menjadi sahabat beliau. Saya banyak bertemu dengan
orang-orang yang melihatnya. Haditsnya telah sampai kepadaku seperti juga telah
sampai kepada kalian. Sedang saya tidak suka membuka pembahasan ini pada
diriku. Saya tidak ingin menjadi hakim atau mufti. Dalam diriku ada kesibukan dan
menyibukan diri. Tak ada waktu luang untuk berbicara. Saya hanya beramal untuk
kehidupan akhiratku.”
Harim mengatakan,” Kalau begitu, kami akan mendengar ayat-ayat kitab Allah dari
bacaanmu. Berdoalah kepada Allah untukku dengan doa-doa. Dan berilah saya suatu
wasiat.”
Saat itu, sungai eufrat mengering, semilir udara sungai berhembus diatas kepada
kedua orang yang zuhud iru: Uwais dan Ibnu Hayyan. Lalu Uwais menggamit tengan
temannya ini dan mengajak berjalan ditepian sungai Eufrat sambil berbincangbincang
. Ia mengatakan,” Tuhanku! Sejujur-jujurnya perkataan adalah perkataan
Tuhanku. Sebenar-benar pembicaraan adalah dari Tuhanku. Tuhanku! Sebaik-baik
perkataan adalah perkataan Tuhanku Yang Maha Agung dan Maha Mulia. Aku
berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk,” Sesungguhnya hari
keputusan (hari kiamat) itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya,
(QS.ad-Dukhan:40).
Kemudian Uwais menghela napas berat setelah membaca ayat ini. Temannya Harim
bin Hayyan mengiranya sedang tak sadarkan diri. Lalu Uwais kembali membaca
ayat: ”Yaitu hari yang seorang karib tidak dapat memberi manfa'at kepada
karibnya sedikitpun, dan mereka tidak akan mendapat pertolongan, kecuali orang
yang diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang. “(QS.ad-Dukhan:41-42).
Uwais memandang kearah Harim dan berkata,” Wahai Harim bin Hayyan! Ayahmu
telah meninggal dan engkau hampir meninggal dunia. Antara dua pilihan tempat,
surga atau neraka. Adam telah meninggal dan juga Hawa, Wahai Ibnu Hayyan.
Ibrahim kekasih Allah telah meninggal, wahai Ibnu Hayyan. Musa, nabi yang Allah
selamatkan juga telah meninggal, wahai Ibnu Hayyan. Muhammad Shallallahu Aalaihi
wa Sallam telah meninggal. Abu Bakar, Khalifah kaum muslimin telah meninggal, dan
saudaraku, temanku, kekasihku, Umar telah meninggal.” Kemudian ia memanggil
nama Umar dengan keras,” Wahai Umar...wahai Umar...”
Harim menyela,”Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya Umar belum meninggal!”
Uwais menjawab,”Ya, benar. Sesungguhnya Tuhanku telah memberikan berita duka
tentang kematiannya kepadaku. Saya mengetahui apa yang saya katakan. Saya dan engkau, besok akan menjadi bagian dari orang-orang yang sudah mati.”
Kemudian ia mendoakan Harim dengan doa yang pendek.”Ini adalah wasiatku
kepadamu wahai Ibnu Hayyan. Adalah kitab Allah dan berita-berita duka tentang
kematian orang-orang yang shalih dari golongan kaum muslimin. Saya beritahukan
kepadamu tentang berita kematianku. Sebaiknya engkau selalu mengingat mati.
Jika engkau mampu, agar ingatanmu itu tidak lepas dari hatimu sedetik saja, maka
lakukanlah!Beritakan hal ini kepada kaummu setelah engkau kembali kepada
mereka. Bersungguh-sungguh untuk dirimu. Jangan sekali-kali memisahkan dirimu
dari jama’ah, karena engkau memisahkan agamamu sedang engkau tidak
merasakannya, hingga engkau mati dan masuk ke dalam neraka di hari Kiamat
kelak.
Kemudian ia menengadahkan muka ke langit dan berdoa,”Ya Allah, orang itu
mengaku mencintaiku dalam mencari keridhaanMu. Dia mengunjungiku karenaMu.
Pertemukanlah dia denganku sebagai pengunjung surga, negeri kedamaian.
Relakanlah untuknya bagian yang sedikit dari dunia dan apa yang Engkau berikan
kepadanya sesuatu dari dunia. Jadikanlah dia dalam kemudahan dan perlindungan.
Jadikanlah amal perbuatan yang Engkau berikan itu menjadi bagian dari orangorang
yang bersyukur.”
Uwais menjabat tangan Harim, dan memeganginya seraya berkata,”Saya
menitipkanmu kepada Allah, wahai Harim bin Hayyan. Selamat jalan!Jangan lagi
mencariku dan bertanya tentangku. Saya akan selalu mengingatmu dan insyaAllah
akan selalu mendoakanmu.”
Kemudian ia memberikan isyarat dengan tangannya,”Berangkatlah dari arah ini.”
Kemudian Harim pun pergi. Harim memintanya untuk berjalan bersamanya. Namun
ia menolak dan berpisah dengannya seraya menangis, sementara Harim juga
menangis.
Harim menceritakan:
Kemudian Uwais masuk ke suatu parit dan menghilang dari pandanganku. Berapa
kali saya mencoba bertemu dengannya setelah hari itu, namun tidak menemukan
seorang pun yang memberitahukan tentang keberadaannya. Saya kembali ke
Bashrah, tempat saya pertama kali mencari Uwais. Di Kuffah ia menghabiskan harihari
ibadahnya. Saya mengingatnya, hingga menemukan banyak kelembutan dan
kejernihan dari pembicaraannya tentang zuhud dan orang-orang zuhud. Suatu
sore, ia pernah mengatakan:”Ini adalah malam ruku.”Maka ia melakukan ruku
(sholat) hingga Shubuh menyingsing.”
Suatu sore, ia juga berkata:”Ini adalah malam sujud.”Maka ia melakukan sujud
hingga waktu Shubuh.”. Ia juga menyedekahkan apa saja yang ada dirumahnya,
mulai dari makanan dan pakaian, lalu ia berucap,”Ya Allah!Siapapun yang mati
kelaparan, maka janganlah Engkau menuntutku karenanya. Siapapun yang mati dan
tidak mempunyai pakaian, maka janganlah Engkau menuntutku karenanya.”
Saat sedang duduk didepan masjid Kufah, ada seseorang dari kaum Murad lewat.
Lalu ia menyapanya,”Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai saudara dari suku Murad?”
Orang itu menjawab,”Pagi ini, saya memuji Allah.”
Lalu orang itu balik bertanya,”Bagaimana masa melewati hidupmu?”
Uwais menjawab,”Bagaimana dengan masa bagi seorang yang ketika pagi ia
mengira tidak ketemu sore. Dan ketika sore, ia mengira tidak bertemu pagi.
Apakah ia akan dapatkan surga atau neraka?Wahai saudara dari Murad,
sesungguhnya mati dan mengingatnya tidak menyisakan kegembiraan bagi seorang
mukmin. Ilmu dan keyakinannya dengan hak-hak Allah sehingga tidak menyisakan
hartanya, baik emas atau perak. Aktivitasnya pada kebenaran tidak meninggalkan
teman baik untuknya.”
Pelajaran yang dapat diambil dari tokoh ini:
Pertama, pengetahuan dan keyakinannya tentang hak-hak Allah. Ia tak menyisakan
sesuatu dari hartanya, karena begitu kuatnya kecintaannya untuk menunaikan
hak-hak itu dan perasaannya bahwa semua hartanya adalah milik Allah.
Kedua, kecenderungannya pada kebenaran dan perkataan yang benar. Ia tak
menarik kekaguman dari banyak orang. Begitu kukuhnya ia, sehingga tak
menyisakan seorang teman baginya. Semua temannya menjauh darinya. Semoga Allah merahmati hamba yang zuhud ini. Aamiiin

Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2007. fulan Bin fulan
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger